Olimpiade Yang Istimewa

Rabu, 26 Januari 2011



Beberapa tahun lalu, diadakan olimpiade khusus orang-orang cacat di Seattle. Saat itu dilakukan pertandingan lari jarak 100 meter. Sembilan pelari telah bersiap-siap di tempat start masing-masing.

Ketika pistol tanda pertandingan dinyalakkan, mereka semua berlari, meski tidak tepat berada di garis lintasannya, namun semuanya berlari dengan wajah gembira menuju garis finish dan berusaha untuk memenangkan pertandingan. Kecuali, seorang pelari, anak lelaki, tiba-tiba tersandung dan terjatuh berguling beberapa kali. Ia lalu menangis.

Delapan pelari mendengar tangisan anak lelaki yang terjatuh itu. Mereka lalu memperlambat lari mereka dan menoleh ke belakang. Mereka semua berbalik dan berlarian menuju anak lelaki yang terjatuh di tanah itu. Semuanya, tanpa terkecuali.

Seorang gadis yang menyandang cacat keterbelakangan mental menunduk, memberikan sebuah ciuman padanya dan berkata, “Semoga membuatmu merasa lebih baik.”

Kemudian kesembilan pelari itu saling bergandengan tangan, berjalan bersama menyelesaikan pertandingan menuju garis finish.

Seluruh penonton yang ada di stadion itu berdiri, memberikan salut selama beberapa lama.

Mereka yang berada di sana saat itu masih saja tak bosan bosannya meneruskan kejadian ini. Tahukah anda mengapa?

Karena di dalam diri kita yang terdalam kita tahu bahwa dalam hidup ini tak ada yang jauh lebih berharga daripada kemenangan bagi kita semua.

Yang terpenting dalam hidup ini adalah saling tolong menolong meraih kemenangan, meski kita harus mengalah dan mengubah diri kita sendiri.

Ketika Aku Sudah Tua

Senin, 17 Januari 2011

Ketika aku sudah tua, bukan lagi aku yang semula.
Mengertilah, bersabarlah sedikit terhadap aku.
Ketika pakaianku terciprat sup, ketika aku lupa bagaimana mengikat sepatu,
ingatlah bagaimana dahulu aku mengajarkanmu.

Ketika aku berulang-ulang berkata tentang sesuatu yang telah
bosan kau dengar, bersabarlah mendengarkan, jangan memutus pembicaraanku.
Ketika kau kecil, aku selalu harus mengulang cerita yang telah
beribu-ribu kali kuceritakan agar kau tidur.

Ketika aku memerlukanmu untuk memandikanku, jangan marah padaku.
Ingatkah sewaktu kecil aku harus memakai segala cara untuk membujukmu
mandi?

Ketika aku tak paham sedikitpun tentang tehnologi dan hal-hal baru,
jangan mengejekku.
Pikirkan bagaimana dahulu aku begitu sabar menjawab setiap “mengapa”
darimu.

Ketika aku tak dapat berjalan, ulurkan tanganmu yang masih kuat untuk
memapahku.
Seperti aku memapahmu saat kau belajar berjalan waktu masih kecil.
Ketika aku seketika melupakan pembicaraan kita, berilah aku waktu
untuk mengingat.

Sebenarnya bagiku, apa yang dibicarakan tidaklah penting, asalkan kau
di samping mendengarkan, aku sudah sangat puas.

Ketika kau memandang aku yang mulai menua, janganlah berduka.
Mengertilah aku, dukung aku, seperti aku menghadapimu ketika kamu
mulai belajar menjalani kehidupan.
Waktu itu aku memberi petunjuk bagaimana menjalani kehidupan ini,
sekarang temani aku menjalankan sisa hidupku.

Beri aku cintamu dan kesabaran, aku akan memberikan senyum penuh
rasa syukur, dalam senyum ini terdapat cintaku yang tak terhingga untukmu.
kamera digital